Pengenalan Alat Musik Karinding
Karinding adalah alat musik tradisional suku Sunda. Karinding ini berasal
dari beberapa tempat di Jawa Barat seperti dari Citamiang, Pasir Mukti,
Tasikmalaya, Malangbong (Garut) dan Cikalong Kulon (Cianjur). Di daerah tadi
biasanya alat musik tradisional karinding dibuat dari pelepah kawung (pohon
aren) sedangkan dibeberapa tempat seperti di Limbangan dan Cililin, kebanyakan
alat musik karinding dibuat dari bambu.
Alat musik tradisional karinding ini sangat unik, selain dari asal daerah
pembuatan karinding, ternyata pemakai karindingpun mempengaruhi bahan pembuat
karinding itu sendiri. Untuk karinding yang dibuat dari bambu digunakan oleh
perempuan. Bentuknyapun sedikit kecil dan memanjang, konon alat musik ini juga
digunakan sebagai susuk yang diselipkan dalam gelungan rambut pemakainya.
Sedangkan untuk karinding yang terbuat dari pelepah kawung digunakan oleh pria.
Bentuknyapun lebih pendek agar mudah disimpan pada tempat bako (tembakau)
Karinding merupakan alat musik sunda yang terbilang
unik, terbuat dari daun pelepah enau (kawung) atau bilah bambu, Getar nadanya
tergantung kemampuan pengolahan rasa dari peniupnya. Kepekaan rasa
sangat diperlukan dalam memainkan alat musik ini, karena tidak tidak memiliki
nada-nada permanen seperti halnya alat tiup lainnya. Alat musik karinding
tergantung dari kemampuan mengolah gema rongga mulut dari peniupnya.
Karinding
memiliki tiga bagian yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut
cecet ucing (buntut kucing-red), lalu pembatas jarum, dan bagian ujung yang
disebut panenggeul (pemukul-red). Panenggeul jika dipukul oleh tangan akan
berfungsi untuk menggerakan jarum. Maka, keluarlah bunyi khas dari karinding.
Disebut karinding karena dari sejenis serangga
sawah yang nyaring bunyinya yaitu Karindingan (kemungkinan serangga jenis ini
sudah punah). Pada jaman dahulu Karinding tidak dapat dipisahkan dari kehidupan
masyarakat Pertanian sunda. Digunakan
untuk mengisi kebosanan saat di Ladang. Dan
resonansi suaranya dapat digunakan sebagai pengusir hama. Seni karinding
juga digunakan kaum 'Jajaka' untuk menaklukan hati pujaan hatinya.
2.2.
Sejarah Alat Musik Karinding
Karinding pada
awalnya banyak digunakan oleh wanita Sunda, dibuat dari pelepah kawung (enau)
dan memiliki bentuk seperti tusuk rambut sehingga mudah dibawa kemana-mana oleh
para wanita Sunda jaman dulu.
Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh
para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat
merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka
disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan
bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat.
Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring
pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki
untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar
maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang
popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih
pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti
gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada
bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus
tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan
ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja,
melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku
di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali
bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan
beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp (harpanya dewa Zues). Dan
istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut
(mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara
memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan
di sentir), di tap (dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan
benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan
cara di tap atau dipukul.
2.3.
Pembuatan Alat Musik Karinding
Dalam pembuatannya
karinding melalui lima tahap pembuatan sampai bisa menjadi karinding yang
benar-benar bisa dimainkan. Karinding juga disimpan dalam alat khusus yang juga
terbuat dari buluh bambu yang memiliki lubang udara. Karinding hanya bisa dipadukan dengan alat-alat musik
musik tradisional seperti angklung. Karena karinding memiliki nada yang ringan
dan rendah.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di
wilayah Jawa Barat), ada dua jenis yaitu pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan
dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan
sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai
susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di
tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan
ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau.
Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah
priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini
menjadi bagian dari kehidupannya.
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar
2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak, tergantung selera dari pengguna dan
pembuatnya karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi
yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas yaitu ruas
pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas
tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat
karinding diketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai
pegangan.
2.4.
Cara Memainkan Alat Musik Karinding
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu
dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu
memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari
hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra
“jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang
dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara
konvensional, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis,
yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
Cara memainkan
karinding ini sangat unik, pertama karinding yang memiliki 3 ruas ini
didekatkan kemulut. Kemudian salah satu sisinya dipukul dengan jari tangan, dan
akibat pukulan tersebut akan menghasilkan vibrasi suara. vibrasi suara inilah
yang akan diolah oleh pemainnya hingga menghasilkan nada-nada.
Permainan karinding biasanya dimainkan lima orang,
paling sedikit oleh tiga orang, satu diantaranya sebagai Rhythm , biasa disebut
juru kawih.
2.5.
Melestarikan Alat Musik Karinding
Satu hal yang menarik dan patut kita cermati dalam
melihat fenomena kembalinya karinding secara masif di tengah masyarakat ini
adalah bahwa ternyata “kelahiran” kembali karinding ini tidak bermula di
daerah-daerah pedesaan yang masih bercorak tradisional yang biasanya masih
memelihara tradisi dan karuhun secara agak ketat. Namun karinding justru
kembali hidup dan popular di perkotaan, di kalangan masyarakat urban juga
generasi muda yang kultur sosialnya telah sangat modern, dalam arti telah
melepaskan sebagian besar tradisi karuhun dari kehidupan pribadi dan sosialnya.
Sebagian ada yang menilai, seraya berbangga hati
melihat fenomena ini. Bagi mereka ini menunjukkan suatu kebangkitan budaya
lokal. Karinding yang merupakan seni buhun sanggup eksis dan bersaing dengan
alat musik modern yang cenderung berbau barat.
Kita tahu bahwa modernitas kerap mengeliminir unsur
lokalitas hingga membuat manusia terjebak dalam alienasi atau keterasingan dari
akar sejarahnya sendiri hingga membawa manusia juga secara kolektif. Masyarakat–pada
masa-masa frustasi (frustasi sosial). Dalam waktu lama frustasi yang berjalin
serasi dengan rasa inferioritas di hadapan hegemoni modern yang digjaya dan
seperti tak mungkin dikalahkan ini menumbuhkan perasaan “heroik” (ketakutan
yang akut) untuk kembali merebut jati diri yang merasa telah dirampas oleh
modernitas. Heroisme (ketakutan) inilah yang menumbuhkan kesadaran masyarakat
untuk kembali masuk dan menghubungkan diri secara lebih mendalam dengan akar
budayanya sendiri (fundamentalisme).
Kemuculan kembali karinding sebagai alat musik buhun
yang telah ada enam ratusan tahunan yang lalu merupakan bentuk dari keinginan
sebagian masyarakat urban (sebagai korban utama dari modernitas) untuk kembali
terhubung dengan sejarahnya sendiri dan dengan itu kembali meneguhkan
identitasnya seraya melawan dari gempuran modernitas yang begitu hegemonik.
Maka dengan karinding mereka lawan hegemoni itu.
Namun ada juga yang “biasa saja”
bahkan cenderung pesimis dengan kebangkitan karinding ini. Mereka sama sekali
tidak melihat fenomena ini sebagai kebangkitan seni dan budaya lokal dalam
kehidupan kontemporer. Masyarakat urban dan generasi muda sebagai tempat awal
kelahirannya kembali telah cukup bukti untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena
karinding ini masih termasuk dalam fenomena modernitas. Yang baru, yang
berbeda, yang tidak nge-pop kerap menjadi prasyarat untuk seseorang atau komunitas
mendapat predikat modern. Maka, memainkan karinding saat ini adalah bentuk modernitas.
sekali lagi karena ia dianggap baru dan berbeda.
Dan juga fakta bahwa banyak dari
kalangan generasi muda yang memainkannya dengan irama atau beat-beat
kontemporer, lepas dari pakem karuhun, juga mengkolaborasikannya dengan
alat-alat musik modern lainnya. Karena karinding hanyalah fenomena modernitas
dan karena itu bersifat temporer, maka karinding pun akan cepat dilupakan jika
keberadaannya di tengah masyarakat telah mengalami bentuk kemapanan tertentu,
atau telah tergeser oleh sesuatu yang lain, yang lebih baru.
Maka akhirnya semua kembali pada
kita. Apakah kita akan memperlakukan karinding ini sebagai warisan karuhun yang
sakral dan wajib dimumule, ataukah akan memperlakukannya hanya secara profan
dan sekadar alat musik biasa? Jika kita menyikapinya dengan sikap yang pertama
berarti kita harus menjaga orisinalitas dan tetekon-tetekon atau pakem yang
terdapat di dalamnya. Menjaganya untuk tetap lestari menjadi beban moril
mendalam bagi diri kita. Namun bila kita memilih sikap yang kedua maka berinovasilah
sebebas mungkin, bila perlu berkresasilah yang benar-benar baru, seperti para
karuhun dahulu menciptakan karinding. Itu semua pilihan.
0 komentar:
Posting Komentar