Rabu, 12 Februari 2014

BUDAYA BANTEN

Posts filed under ‘Seni & Budaya Banten’


Seba merupakan bagian dari rangkaian aktivitas warga

Baduy yang wajib dilakukan setiap tahun. Prosesnya dimulai dari masa Kawalu (puasa tiga bulan), Ngalaksa (pencacahan penduduk sekaligus mendoakan), dan terakhir Seba. Seba yaitu menemui Bupati Lebak (Bapak Gede) dan Gubernur Banten (Ibu Gede), yang mereka sebut sebagai Bapak Gede.
MASTUR – Leuwidamar

Warga Baduy Sedang Melakukan Seba
Sabtu (17/4) malam, puluhan warga Baduy Dalam sudah berdatangan ke Baduy Luar, tepatnya ke rumah Jaro Dainah di Kampung Kadu Ketug, Desa Kenekes. Mereka membawa hasil bumi yang akan diberikan kepada Bapak Gede dan Ibu Gede.
Selain dari Baduy Dalam, ratusan warga Baduy Luar juga sudah bersiap-siap untuk mengikuti seba. Sampai pagi hari, warga Baduy yang akan mengikuti seba ke Rangkasbitung dan Serang terus berdatangan.
Warga Baduy Luar berangkat dari Ciboleger Minggu (18/4) pukul 10.30. Tercatat sebanyak 605 warga Baduy Luar yang ikut berangkat dari Terminal Ciboleger ke Rangkasbitung. Mereka berangkat menggunakan 15 kendaraan berbagai jenis, seperti elf, truk, pick up, bus, dan kendaraan pribadi. Sedangkan puluhan warga Baduy Dalam sudah berangkat terlebih dahulu dengan berjalan kaki.
“Warga Baduy Dalam berangkat jam lima subuh. Ada 25 orang yang berangkat,” ujar Asep Kurnia, warga Ciboleger, kemarin.
Mereka, kata Asep, berjalan kaki menuju Rangkasbitung. “Hasil bumi yang dibawa dimuat terpisah pada mobil bak terbuka,” kata Asep lagi.
Jaro Dainah di rumahnya mengungkapkan, pada awalnya seba akan dilakukan pada 16 April 2010. Karena kesibukan Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya, seba baru dilakukan minggu ini. “Kalau tidak ada Pak Bupati, kami tetap akan menghadap. Terserah siapa yang menerimanya,” kata Jaro Dainah.
Menurutnya, saat ini warga Baduy yang ikut seba tidak banyak dibanding tahun lalu yang mencapai 1.800 orang. Tahun ini sekira 605 orang yang ikut seba. Setiap kampung diwakili antara 5 – 10 orang. Makanya seba tahun ini dinamakan sebagai seba leutik (seba kecil). Warga yang ikut seba ke Bapak Gede sedikit karena hasil panen dalam satu tahun terakhir ini berkurang.
“Ciri lain yang dapat dilihat pada seba leutik adalah kami tidak membawa peralatan dapur untuk diberikan kepada Bapak Gede,” ujarnya.
Perjalanan menuju Rangkasbitung, mobil PS/elf yang ditumpangi warga Baduy saling kejar dengan kecepatan sekira 60 – 70 km/jam. Yang naik di atas elf tidak ketakutan. Mereka terlihat tenang dan menikmati perjalanan. Mereka terdiam hingga sampai tujuan.
Sekira pukul 12.00, beberapa mobil yang membawa warga Baduy Luar memasuki areal Alun-alun Multatuli Rangkasbitung. Mereka langsung bergerombol sambil melihat pemandangan yang jarang mereka nikmati.
Sementara, warag Baduy Dalam yang berjalan kaki, tiba di Rangkasbitung, sekira pukul 13.00 WIB. Mereka beristirahat di Sekretariat Pemkab Lebak.
Tadi malam selepas Isya, seba disambut Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya. Mereka menyerahkan laksa (kumpulan hasil bumi dari setiap warga Baduy) kepada Bapak Gede. Hari ini mereka menuju Kota Serang untuk bersilaturahmi dengan Gubernur Banten.
Ayah Mursid, wakil Jaro Tangtu Kampung Cibeo, Desa Kanekes, menuturkan, warga Baduy Dalam dari Cibeo yang berangkat seba sekira 11 orang. Mereka dipimpin langsung Jaro Tangtu Jaro Sami. Sedangkan dari kampung Cikeusik 7 orang tanpa didampingi jaro tangtu, dan dari Kampung Cikartawana didampingi mantan Jaro Tangtu Ayah Nasinah. “Ti kami aya 25 jalma (dari Baduy Dalam ada 25 orang, red),” ungkap Ayah Mursid.
Dia menegaskan, seba bukan merupakan pemberian upeti terhadap pemimpin di Lebak, dan bukan pula bentuk ketundukan terhadap pemerintah. Seba merupakan ritual sakral bagi warga Baduy dan wajib dilakukan setiap satu tahun sekali.
Dalam seba mereka melaporkan kondisi warga Baduy dan menyampaikan berbagai aspirasi masyarakat terkait dengan kondisi alam. Mereka ingin kelestarian alam tetap dijaga. Radar Banten


Atraksi Seni & Budaya Banten

Kesenian DEBUS. (Banten Traditional Martial Art)

Seni bela diri debus pertama kali dikembangkan oleh salah satu sultan banten yang terkenal, yaitu Sultan ageng Tirtayasa. Debus merupakan gabungan dari pertunjukan seni bela diri tradisional dan seni kekebalan tubuh. Pertunjukan ini terdiri dari gembruk yang merupakan penampilan pembuka dengan iringan drum perkusi, lalu kemudian beluk yang disertai teriakan-teriakan melengking dan merupakan puncak dari pertunjukan. Dan yang terakhir adalah pencak yang mempertunjukan seni bela diri tradisional secara berpasangan ataupun sendiri-sendiri.


debus_tusuk_lidah
Kesenian Rampak Bedug.
Rampak bedug adalah kesenian tradisional masyarakat Pandeglang dan sekitarnya. Perangkat peralatan yang digunakan meliputi seperangkat bedg kecil selaku pengatur irama, tempo dan dinamika. Sedangkan bedug besar sebagai bass. sementara melody hanya berasal dari lantunan shalawat yang dilakukan sambil menabuh.

Rampak Bedug
Kesenian Angklung Buhun.
Kata “Buhun” mengandung arti tua atau lama. Kesenian ini sekarang hanya dijumpai pada acara-acara ritual, seperti acara adat seren taun di Cisungsang.

Angklung_Buhun
Kerajinan Tangan / Handicraft.
Provinsi banten memiliki kerajinan khas daerah, yang tersebar di setiap kabupaten kota sperti taman jaya dengan kerajinan kayunya, bumi jaya dengan gerabahnya dan rangkas bitung membuat keajinan batu kalimaya dan onix.

kerajinan_banten

Debus Banten


Debus Banten
Atraksi yang sangat berbahaya tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.
Atraksi yang sangat berbahaya tersebut biasa kita kenal dengan sebutan Debus, Konon kesenian bela diri debus berasal dari daerah al Madad. Semakin lama seni bela diri ini makin berkembang dan tumbuh besar disemua kalangan masyarakat banten sebagai seni hiburan untuk masyarakat. Inti pertunjukan masih sangat kental gerakan silat atau beladiri dan penggunaan senjata. Kesenian debus banten ini banyak menggunakan dan memfokuskan di kekebalan seseorang pemain terhadap serangan benda tajam, dan semacam senjata tajam ini disebut dengan debus.
Kesenian ini tumbuh dan berkembang sejak ratusan tahun yang lalu, bersamaan dengan berkembangnya agama islam di Banten. Pada awalna kesenian ini mempunyai fungsi sebagai penyebaran agama, namun pada masa penjajahan belanda dan pada saat pemerintahan Sultan Agung Tirtayasa. Seni beladiri ini digunakan untuk membangkitkan semangat pejuang dan rakyat banten melawan penjajahan yang dilakukan belanda. Karena pada saat itu kekuatan sangat tidak berimbang, belanda yang mempunyai senjata yang sangat lengkap dan canggih. Terus mendesak pejuang dan rakyat banten, satu satunya senjata yang mereka punya tidak lain adalah warisan leluhur yaitu seni beladiri debus, dan mereka melakukan perlawanan secara gerilya.

Atraksi debus
Debus dalam bahasa Arab yang berarti senjata tajam yang terbuat dari besi, mempunyai ujung yang runcing dan berbentuk sedikit bundar. Dengan alat inilah para pemain debus dilukai, dan biasanya tidak dapat ditembus walaupun debus itu dipukul berkali kali oleh orang lain. Atraksi atraksi kekebalan badan ini merupakan variasi lain yang ada dipertunjukan debus. Antara lain, menusuk perut dengan benda tajam atau tombak, mengiris tubuh dengan golok sampai terluka maupun tanpa luka, makan bara api, memasukkan jarum yang panjang ke lidah, kulit, pipi sampai tembus dan tidak terluka. Mengiris anggota tubuh sampai terluka dan mengeluarkan darah tetapi dapat disembuhkan pada seketika itu juga, menyiram tubuh dengan air keras sampai pakaian yang melekat dibadan hancur, mengunyah beling/serpihan kaca, membakar tubuh. Dan masih banyak lagi atraksi yang mereka lakukan.
Dalam melakukan atraksi ini setiap pemain mempunyai syarat syarat yang berat, sebelum pentas mereka melakukan ritual ritual yang diberikan oleh guru mereka. Biasanya dilakukan 1-2 minggu sebelum ritual dilakukan. Selain itu mereka juga dituntut mempunyai iman yang kuat dan harus yakin dengan ajaran islam. Pantangan bagi pemain debus adalah tidak boleh minum minuman keras, main judi, bermain wanita, atau mencuri. Dan pemain juga harus yakin dan tidak ragu ragu dalam melaksanakan tindakan tersebut, pelanggaran yang dilakukan oleh seorang pemain bisa sangat membahayakan jiwa pemain tersebut.
Menurut beberapa sumber sejarah, debus mempunyai hubungan dengan tarekat didalam ajaran islam. Yang intinya sangat kental dengan filosofi keagamaan, mereka dalam kondisi yang sangat gembira karena bertatap muka dengan tuhannya. Mereka menghantamkan benda tajam ketubuh mereka, tiada daya upaya melainkan karena Allah semata. Kalau Allah tidak mengijinkan golok, parang maupun peluru melukai mereka. Dan mereka tidak akan terluka.
Pada saat ini banyak pendekar debus bermukim di Desa Walantaka, Kecamatan Walantaka, Kabupaten Serang. Yang sangat disayangkan keberadaan debus makin lama kian berkurang, dikarenakan para pemuda lebih suka mencari mata pencaharian yang lain. Dan karena memang atraksi ini juga cukup berbahaya untuk dilakukan, karena tidak jarang banyak pemain debus yang celaka karena kurang latihan maupun ada yang “jahil” dengan pertunjukan yang mereka lakukan. Sehingga semakin lama warisan budaya ini semakin punah. Dahulu kita bisa menyaksikan atraksi debus ini dibanyak wilayah banten, tapi sekarang atraksi debus hanya ada pada saat event – event tertentu. Jadi tidak setiap hari kita dapat melihat atraksi ini. Warisan budaya, yang makin lama makin tergerus oleh perubahan jaman.

SUKU BADUY BANTEN



Orang Kanekes
Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten.
“Baduy” merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan Badawi atau Bedouin Arab yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden).
Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut.
Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau “orang Kanekes” sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo (Garna, 1993).

0 komentar:

Posting Komentar