Senin, 18 Agustus 2014

ALAT MUSIK KARINDING

    Pengenalan Alat Musik Karinding
Karinding adalah alat musik tradisional suku Sunda. Karinding ini berasal dari beberapa tempat di Jawa Barat seperti dari Citamiang, Pasir Mukti, Tasikmalaya, Malangbong (Garut) dan Cikalong Kulon (Cianjur). Di daerah tadi biasanya alat musik tradisional karinding dibuat dari pelepah kawung (pohon aren) sedangkan dibeberapa tempat seperti di Limbangan dan Cililin, kebanyakan alat musik karinding dibuat dari bambu.
Alat musik tradisional karinding ini sangat unik,  selain dari asal daerah pembuatan karinding, ternyata pemakai karindingpun mempengaruhi bahan pembuat karinding itu sendiri. Untuk karinding yang dibuat dari bambu digunakan oleh perempuan. Bentuknyapun sedikit kecil dan memanjang, konon alat musik ini juga digunakan sebagai susuk yang diselipkan dalam gelungan rambut pemakainya. Sedangkan untuk karinding yang terbuat dari pelepah kawung digunakan oleh pria. Bentuknyapun lebih pendek agar mudah disimpan pada tempat bako (tembakau)
Karinding merupakan alat musik sunda yang terbilang unik, terbuat dari daun pelepah enau (kawung) atau bilah bambu, Getar nadanya tergantung kemampuan pengolahan rasa dari peniupnya. Kepekaan rasa sangat diperlukan dalam memainkan alat musik ini, karena tidak tidak memiliki nada-nada permanen seperti halnya alat tiup lainnya. Alat musik karinding tergantung dari kemampuan mengolah gema rongga mulut dari peniupnya.
Karinding memiliki tiga bagian yaitu bagian jarum tempat keluarnya nada yang disebut cecet ucing (buntut kucing-red), lalu pembatas jarum, dan bagian ujung yang disebut panenggeul (pemukul-red). Panenggeul jika dipukul oleh tangan akan berfungsi untuk menggerakan jarum. Maka, keluarlah bunyi khas dari karinding.
Disebut karinding karena dari sejenis serangga sawah yang nyaring bunyinya yaitu Karindingan (kemungkinan serangga jenis ini sudah punah). Pada jaman dahulu Karinding tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat Pertanian sunda. Digunakan untuk mengisi kebosanan saat di Ladang. Dan resonansi suaranya dapat digunakan sebagai pengusir hama. Seni karinding juga digunakan kaum 'Jajaka' untuk menaklukan hati pujaan hatinya.
2.2.         Sejarah Alat Musik Karinding
Karinding pada awalnya banyak digunakan oleh wanita Sunda, dibuat dari pelepah kawung (enau) dan memiliki bentuk seperti tusuk rambut sehingga mudah dibawa kemana-mana oleh para wanita Sunda jaman dulu.
Awalnya karinding adalah alat yang digunakan oleh para karuhun untuk mengusir hama di sawah—bunyinya yang low decible sangat merusak konsentrasi hama. Karena ia mengeluarkan bunyi tertentu, maka disebutlah ia sebagai alat musik. Bukan hanya digunakan untuk kepentingan bersawah, para karuhun memainkan karinding ini dalam ritual atau upaca adat. Maka tak heran jika sekarang pun karinding masih digunakan sebagai pengiring pembacaan rajah. Bahkan, konon, karinding ini digunakan oleh para kaum lelaki untuk merayu atau memikat hati wanita yang disukai. Jika keterangan ini benar maka dapat kita duga bahwa karinding, pada saat itu, adalah alat musik yang popular di kalangan anak muda hingga para gadis pun akan memberi nilai lebih pada jejaka yang piawai memainkannya. Mungkin keberadaannya saat ini seperti gitar, piano, dan alat-alat musik modern-popular saat ini.
Beberapa sumber menyatakan bahwa karinding telah ada bahkan sebelum adanya kecapi. Jika kecapi telah berusia sekira lima ratus tahunan maka karinding diperkirakan telah ada sejak enam abad yang lampau. Dan ternyata karinding pun bukan hanya ada di Jawa Barat atau priangan saja, melainkan dimiliki berbagai suku atau daerah di tanah air, bahkan berbagai suku di bangsa lain pun memiliki alat musik ini–hanya berbeda namanya saja. Di Bali bernama genggong, Jawa Tengah menamainya rinding, karimbi di Kalimantan, dan beberapa tempat di “luar” menamainya dengan zuesharp (harpanya dewa Zues). Dan istilah musik modern biasa menyebut karinding ini dengan sebutan harpa mulut (mouth harp). Dari sisi produksi suara pun tak jauh berbeda, hanya cara memainkannya saja yang sedikit berlainan; ada yang di trim (di getarkan dengan di sentir), di tap (dipukul), dan ada pula yang di tarik dengan menggunakan benang. Sedangkan karinding yang di temui di tataran Sunda dimainkan dengan cara di tap atau dipukul.
2.3.         Pembuatan Alat Musik Karinding
Dalam pembuatannya karinding melalui lima tahap pembuatan sampai bisa menjadi karinding yang benar-benar bisa dimainkan. Karinding juga disimpan dalam alat khusus yang juga terbuat dari buluh bambu yang memiliki lubang udara. Karinding hanya bisa dipadukan dengan alat-alat musik musik tradisional seperti angklung. Karena karinding memiliki nada yang ringan dan rendah.
Material yang digunakan untuk membuat karinding (di wilayah Jawa Barat), ada dua jenis yaitu pelepah kawung dan bambu. Jenis bahan dan jenis disain bentuk karinding ini menunjukan perbedaan usia, tempat, dan sebagai perbedaan gender pemakai. Semisal bahan bambu yang lebih menyerupai susuk sanggul, ini untuk perempuan, karena konon ibu-ibu menyimpannya dengan di tancapkan disanggul. Sedang yang laki-laki menggunakan pelapah kawung dengan ukuran lebih pendek, karena biasa disimpan di tempat mereka menyimpan tembakau. Tetapi juga sebagai perbedaan tempat dimana dibuatnya, seperti di wilayah priangan timur, karinding lebih banyak menggunakan bahan bambu karena bahan ini menjadi bagian dari kehidupannya.
Karinding umumnya berukuran: panjang 10 cm dan lebar 2 cm. Namun ukuran ini tak berlaku mutlak, tergantung selera dari pengguna dan pembuatnya karena ukuran ini sedikit banyak akan berpengaruh terhadap bunyi yang diproduksi.
Karinding terbagi menjadi tiga ruas yaitu ruas pertama menjadi tempat mengetuk karinding dan menimbulkan getaran di ruas tengah. Di ruas tengah ada bagian bambu yang dipotong hingga bergetar saat karinding diketuk dengan jari. Dan ruas ke tiga (paling kiri) berfungsi sebagai pegangan.
2.4.         Cara Memainkan Alat Musik Karinding
Cara memainkan karinding cukup sederhana, yaitu dengan menempelkan ruas tengah karinding di depan mulut yang agak terbuka, lalu memukul atau menyentir ujung ruas paling kanan karinding dengan satu jari hingga “jarum” karinding pun bergetar secara intens. Dari getar atau vibra “jarum” itulah dihasilkan suara yang nanti diresonansi oleh mulut. Suara yang dikeluarkan akan tergantung dari rongga mulut, nafas, dan lidah. Secara konvensional, nada atau pirigan dalam memainkan karinding ada empat jenis, yaitu: tonggeret, gogondangan, rereogan, dan iring-iringan.
Cara memainkan karinding ini sangat unik, pertama karinding yang memiliki 3 ruas ini didekatkan kemulut. Kemudian salah satu sisinya dipukul dengan jari tangan, dan akibat pukulan tersebut akan menghasilkan vibrasi suara. vibrasi suara inilah yang akan diolah oleh pemainnya hingga menghasilkan nada-nada.
Permainan karinding biasanya dimainkan lima orang, paling sedikit oleh tiga orang, satu diantaranya sebagai Rhythm , biasa disebut juru kawih.
2.5.         Melestarikan Alat Musik Karinding
Satu hal yang menarik dan patut kita cermati dalam melihat fenomena kembalinya karinding secara masif di tengah masyarakat ini adalah bahwa ternyata “kelahiran” kembali karinding ini tidak bermula di daerah-daerah pedesaan yang masih bercorak tradisional yang biasanya masih memelihara tradisi dan karuhun secara agak ketat. Namun karinding justru kembali hidup dan popular di perkotaan, di kalangan masyarakat urban juga generasi muda yang kultur sosialnya telah sangat modern, dalam arti telah melepaskan sebagian besar tradisi karuhun dari kehidupan pribadi dan sosialnya.
Sebagian ada yang menilai, seraya berbangga hati melihat fenomena ini. Bagi mereka ini menunjukkan suatu kebangkitan budaya lokal. Karinding yang merupakan seni buhun sanggup eksis dan bersaing dengan alat musik modern yang cenderung berbau barat.
Kita tahu bahwa modernitas kerap mengeliminir unsur lokalitas hingga membuat manusia terjebak dalam alienasi atau keterasingan dari akar sejarahnya sendiri hingga membawa manusia juga secara kolektif. Masyarakat–pada masa-masa frustasi (frustasi sosial). Dalam waktu lama frustasi yang berjalin serasi dengan rasa inferioritas di hadapan hegemoni modern yang digjaya dan seperti tak mungkin dikalahkan ini menumbuhkan perasaan “heroik” (ketakutan yang akut) untuk kembali merebut jati diri yang merasa telah dirampas oleh modernitas. Heroisme (ketakutan) inilah yang menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk kembali masuk dan menghubungkan diri secara lebih mendalam dengan akar budayanya sendiri (fundamentalisme).
Kemuculan kembali karinding sebagai alat musik buhun yang telah ada enam ratusan tahunan yang lalu merupakan bentuk dari keinginan sebagian masyarakat urban (sebagai korban utama dari modernitas) untuk kembali terhubung dengan sejarahnya sendiri dan dengan itu kembali meneguhkan identitasnya seraya melawan dari gempuran modernitas yang begitu hegemonik. Maka dengan karinding mereka lawan hegemoni itu.
Namun ada juga yang “biasa saja” bahkan cenderung pesimis dengan kebangkitan karinding ini. Mereka sama sekali tidak melihat fenomena ini sebagai kebangkitan seni dan budaya lokal dalam kehidupan kontemporer. Masyarakat urban dan generasi muda sebagai tempat awal kelahirannya kembali telah cukup bukti untuk menarik kesimpulan bahwa fenomena karinding ini masih termasuk dalam fenomena modernitas. Yang baru, yang berbeda, yang tidak nge-pop kerap menjadi prasyarat untuk seseorang atau komunitas mendapat predikat modern. Maka, memainkan karinding saat ini adalah bentuk modernitas. sekali lagi karena ia dianggap baru dan berbeda.
Dan juga fakta bahwa banyak dari kalangan generasi muda yang memainkannya dengan irama atau beat-beat kontemporer, lepas dari pakem karuhun, juga mengkolaborasikannya dengan alat-alat musik modern lainnya. Karena karinding hanyalah fenomena modernitas dan karena itu bersifat temporer, maka karinding pun akan cepat dilupakan jika keberadaannya di tengah masyarakat telah mengalami bentuk kemapanan tertentu, atau telah tergeser oleh sesuatu yang lain, yang lebih baru.
Maka akhirnya semua kembali pada kita. Apakah kita akan memperlakukan karinding ini sebagai warisan karuhun yang sakral dan wajib dimumule, ataukah akan memperlakukannya hanya secara profan dan sekadar alat musik biasa? Jika kita menyikapinya dengan sikap yang pertama berarti kita harus menjaga orisinalitas dan tetekon-tetekon atau pakem yang terdapat di dalamnya. Menjaganya untuk tetap lestari menjadi beban moril mendalam bagi diri kita. Namun bila kita memilih sikap yang kedua maka berinovasilah sebebas mungkin, bila perlu berkresasilah yang benar-benar baru, seperti para karuhun dahulu menciptakan karinding. Itu semua pilihan.